Stun Me

Selasa, 15 Februari 2011

Riwayat Hidup Syaikh Abdul Qadir Al Jaelani

NASAB
Sayid Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif, Jailan, Iraq, pada bulan Ramadhan 470 H, bertepatan dengan th 1077 M. Ayahnya bernama Shahih, seorang yang taqwa keturunan Hadhrat Imam Hasan, r.a., cucu pertama Rasulullah saw, putra sulung Imam Ali ra dan Fatimah r.a., putri tercinta Rasul. Ibu beliau adalah putri seorang wali, Abdullah Saumai, yang juga masih keturunan Imam Husein, r.a., putera kedua Ali dan Fatimah. Dengan demikian, Sayid Abdul Qadir adalah Hasani sekaligus Huseini.

MASA MUDA
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang desebut 'pengalaman-pengalaman mistik'. Ketika berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan kegairahan untuk bersama para saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghauts Al-Azam atau wali ghauts terbesar.
Dalam terminologi kaum sufi, seorang ghauts menduduki jenjang ruhaniah dan keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi ummat manusia setelah para nabi. Seorang ulama' besar di masa kini, telah menggolongkannya ke dalam Shaddiqin, sebagaimana sebutan Al Qur'an bagi orang semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada peristiwa yang terjadi pada perjalanan pertama Sayyid Abdul Qadir ke Baghdad.
Diriwayatkan bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang sudah menjanda, membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan pada bagian dalam mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal. Uang ini adalah warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk menghadapi masa-masa sulit. Kala hendak berangkat, sang ibu diantaranya berpesan agar jangan berdusata dalam segala keadaan. Sang anak berjanji untuk senantiasa mencamkan pesan tersebut.
Begitu kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, menghadanglah segerombolan perampok. Kala menjarahi, para perampok sama sekali tak memperhatikannya, karena ia tampak begitu sederhana dan miskin. Kebetulan salah seorang perampok menanyainya apakah ia mempunyai uang atau tidak. Ingat akan janjinya kepada sang ibu, si kecil Abdul Qadir segera menjawab: "Ya, aku punya delapan puluh keping emas yang dijahitkan di dalam baju oleh ibuku." Tentu saja para perampok terperanjat keheranan. Mereka heran, ada manusia sejujur ini.
Mereka membawanya kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya, dan jawabannya pun sama. Begitu jahitan baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah delapan puluh keping emas sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala perampok terhenyak kagum. Ia kisahkan segala yang terjadi antara dia dan ibunya pada saat berangkat, dan ditambahkannya jika ia berbohong, maka akan tak bermakna upayanya menimba ilmu agama.
Mendengar hal ini, menangislah sang kepala perampok, jatuh terduduk di kali Abdul Qadir, dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukan. Diriwayatkan, bahwa kepala perampok ini adalah murid pertamanya. Peristiwa ini menunjukkan proses menjadi Shiddiq. Andaikata ia tak benar, maka keberanian kukuh semacam itu demi kebenaran, dalam saat-saat kritis, tak mungkin baginya.

BELAJAR DI BAGHDAD
Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli hukum terbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala tenggelam dalam belajar, ia gemar musyahadah*).
Ia sering berpuasa, dan tak mau meminta makanan dari seseorang, meski harus pergi berhari-hari tanpa makanan. Di Baghdad, ia sering menjumpai orang-orang yang berfikir serba ruhani, dan berintim dengan mereka. Dalam masa pencarian inilah, ia bertemu dengan Hadhrat Hammad, seorang penjual sirup, yang merupakan wali besar pada zamannya.
Lambat laun wali ini menjadi pembimbing ruhani Abdul Qadir. Hadhrat Hammad adalah seorang wali yang keras, karenanya diperlakukannya sedemikian keras sufi yang sedang tumbuh ini. Namun calon ghauts ini menerima semua ini sebagai koreksi bagi kecacatan ruhaninya.

LATIHAN-LATIHAN RUHANIAH
Setelah menyelesaikan studinya, ia kian keras terhadap diri. Ia mulai mematangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup. Waktu dan tenaganya tercurah pada shalat dan membaca Qur'an suci. Shalat sedemikian menyita waktunya, sehingga sering ia shalat shubuh tanpa berwudhu lagi, karena belum batal.
Diriwayatkan pula, beliau kerapkali tamat membaca Al-Qur'an dalam satu malam. Selama latihan ruhaniah ini, dihindarinya berhubungan dengan manusia, sehingga ia tak bertemu atau berbicara dengan seorang pun. Bila ingin berjalan-jalan, ia berkeliling padang pasir. Akhirnya ia tinggalkan Baghdad, dan menetap di Syustar, dua belas hari perjalanan dari Baghdad. Selama sebelas tahun, ia menutup diri dari dunia. Akhir masa ini menandai berakhirnya latihannya. Ia menerima nur yang dicarinya. Diri-hewaninya kini telah digantikan oleh wujud mulianya.

DICOBA IBLIS
Suatu peristiwa terjadi pada malam babak baru ini, yang diriwayatkan dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara perlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.
Misal, tentang bagaimana nabi Isa as digoda oleh Iblis, yang membawanya ke puncak bukit dan dari sana memperlihatkan kepadanya kerajaan-kerajaan duniawi, dan dimintanya nabi Isa a.s., menyembahnya, bila ingin menjadi raja dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau, sebagai pemimpin ruhaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa perjuangan jiwa sang pemimpin dalam hidupnya.
Demikian pula yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala beliau kukuh berdakwah menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan musuh-musuh beliau, para pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan, harta dan tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan jawaban beliau: "Aku sama sekali tak menginginkan harta ataupun tahta. Aku telah diutus oleh Allah sebagai seorang Nadzir**) bagi umat manusia, menyampaikan risalah-Nya kepada kalian. Jika kalian menerimanya, maka kalian akan bahagia di dunia ini dan di akhirat kelak. Dan jika kalian menolak, tentu Allah akan menentukan antara kalian dan aku."
Begitulah gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat kemaujudan duniawi. Berkenaan dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang Syaikh Abdul Qadir Jailani. Versi pertama mengisahkan, bahwa suatu hari Iblis menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia membawa Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk menghadap-Nya di langit tertinggi.
Sang Syaikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain adalah si Iblis, karena baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi selain Nabi Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain, katanya: "Baiklah Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu." "Enyahlah!, bentak sang wali." Jangan kau goda aku, bukan karena ilmuku, tapi karena rahmat Allahlah aku selamat dari perangkapmu".
*) Musyahadah : penyaksian langsung. Yang dimaksud ialah penyaksian akan segala kekuasaan dan keadilan Allah melalui mata hati.
**) Nadzir : pembawa ancaman atau pemberi peringatan. Salah satu tugas terpenting seorang Rasul adalah membawa beita, baik berita gembira maupun ancaman.
Versi kedua mengisahkan, ketika sang Syaikh sedang berada di rimba belantara, tanpa makanan dan minuman, untuk waktu yang lama, awan menggumpal di angkasa, dan turunlah hujan. Sang Syaikh meredakan dahaganya. Muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru: "Akulah Tuhanmu, kini Kuhalalkan bagimu segala yang haram." Sang Syaikh berucap: "Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk." Sosok itu pun segera pergi berubah menjadi awan, dan terdengar berkata: "Dengan ilmumu dan rahmat Allah, engkau selamat dari tipuanku."
Lalu setan bertanya tentang kesigapan sang Syaikh dalam mengenalinya. Sang Syaikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang haramlah yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan dari Allah.
Kedua versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan ruhaniahnya.
Kesadaran aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan merupakan kelemahan terakhir yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan setelah berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak menjadi pemimpin sejati manusia.
PANUTAN MASYARAKAT
Kini sang Syaikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka semua tutur kata atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal dari ruhaninya.
Kala ia memperoleh ilham, sebagaimana sang Syaikh sendiri ingin menyampaikannya, keyakinan Islami melemah. Sebagian muslim terlena dalam pemuasan jasmani, dan sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan upacara-upacara keagamaan. Semangat keagamaan tak dapat ditemui lagi.
Pada saat ini, ia mempunyai mimpi penting tentang masalah ini. Ia melihat dalam mimpi itu, seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan di Baghdad, yang di situ seorang kurus kering sedang berbaring di sisi jalan, menyalaminya.
Ketika sang Syaikh menjawab ucapan salamnya, orang itu memintanya untuk membantunya duduk. Begitu beliau membantunya, orang itu duduk dengan tegap, dan secara menakjubkan tubuhnya menjadi besar. Melihat sang Syaikh terperanjat, orang asing itu menentramkannya dengan kata-kata: " Akulah agama kakekmu, aku menjadi sakit dan sengsara, tetapi Allah telah menyehatkanku kembali melalui bantuanmu."
Ini terjadi pada malam penampilannya di depan umum di masjid, dan menunjukkan karir mendatang sang wali. Kemudian masyarakat tercerahkan, menamainya Muhyiddin, 'pembangkit keimanan', gelar yang kemudian dipandang sebagai bagian dari namanya yang termasyhur. Meski telah ia tinggalkan kesendiriannya (uzlah), ia tak jua berkhutbah di depan umum. Selama sebelas tahun berikutnya, ia mukim di sebuah sudut kota, dan meneruskan praktek-praktek peribadatan, yang kian mempercerah ruhaniyah.

KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak - dua puluh putra, dan yang lainnya putri.

Empat putranya yang termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya, al:
1. Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan demikian termasyhur.
2. Syaikh Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar. Dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.
3. Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad, sebagaimana ayahnya.
4. Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syaikh Isa. Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali, diriwayatkan oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada wacana ke tujuh puluh sembilan dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir nanti disebutkan, pembuatnya adalah Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz, dua putra sang wali, dengan diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat terakhirnya.

KESEHARIANNYA
Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia mengajar tentang Tafsir Al Qur'an, Hadits, Ushul Fiqih, dan mata pelajaran lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum, yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah sholat Maghrib, ia selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun. Sebalum berbuka, ia menyilakan orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama. Sesudah sholat Isya', sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah - suatu amalan yang dianjurkan Qur'an Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi ummat manusia, dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya.

WAFATNYA
Ia wafat pada 11 Rabi'ul Akhir 561 H (1166 M), pada usia 91 tahun. Tanggal ini diperingati oleh para pengagumnya sampai kini, dan anak benua India (Pakistan), dikenal sebagai Giarwin Syarif.

PENINGGALANNYA
Sepeninggal sang wali, para putra dan muridnya mendirikan suatu Thariqah, untuk menyuburkan spiritualitas Islami dan ajaran-ajaran Islami di kalangan umat dunia, yakni Thariqah Qadiriyah, yang sampai kini terkenal taat kepada prinsip-prinsip syari'at. Thariqah ini telah sedemikian besar jasanya bagi kebangkitan kembali 'dunia Islam', dan sumbangannya kepada Tasawuf tak terhingga. Tiga diantara catatan-catatan nasihat dan pengajarannya mencapai reputasi dunia. Yang paling luar biasa adalah FUTUH AL-GHAIB.
Selain itu, Fath al-Rabbani, kumpulan enam puluh delapan khutbah, yang disampaikan antara tahun 545 H dan 546 H. Yang ketiga adalah sebuah QASIDAH, sebuah syair yang memaparkan peranan dan peringkat wali dalam bahasa ekstatik. Syair ini disebut Qasidah al-Ghautsiyya.
Sebagaimana thariqah lain, Thariqah Qadiriyah dewasa ini, tampak lebih cenderung kepada risalah terakhir ini, dari pada karya-karya lainnya, yang memuat nasihat-nasihat tentang pembangunan diri, dan sebuah pesan dari alam ghaib.
Terlepas dari kekeliruan-kekeliruan pada para pengagumnya dewasa ini, pengaruh sang wali dalam sejarah Islami luar biasa. Kepribadiannya gemerlapan laksana zamrud berkilauan dari spiritualitas Islami dewasa ini, sebagaimana pada sejarah masa lalu.
Semoga kita sama-sama tolong-menolong untuk dan dengan kebaikan... 

Minggu, 06 Februari 2011

Mengenal Syaikh Abdul Qadir Jaelani

Syekh Abdur Qadir Jailani adalah imam yang zuhud dari kalangan sufi. Beliau lahir tahun 470 H di Baghdad dan mendirikan tariqat al-Qadiriyah. Diantara tulisan beliau antara lain kitab Al-Fathu Ar-Rabbani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan Futuh Al-Ghaib. Tahun wafat beliau tercatat tahun 561 H bertepatan dengan 1166 M. Beliau adalah seorang yang shalih . Bila dirunut ke atas dari nasabnya, beliau masih keturunan dari Ali bin Abi Talib. Nama lengkap beliau adalah Abu Shalih Sayidi Abdul Qodir bin Musa bin Abdullah bin Yahya Az-zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahdhi bin Hasan al-Mutsana bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.
Jumlah karomah yang dimiliki oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani banyak sekali:
Syaikh Abil AbbasAhmad ibn Muhammadd ibn Ahmad al-Urasyi al-Jily:
Pada suatu hari, aku telah menghadiri majlis asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani berserta
murid-muridnya yang lain. Tiba-tiba, muncul seekor ular besar di pangkuan asy-Syaikh. Maka orang ramai yang hadir di majlis itu pun berlari tunggang langgang, ketakutan. Tetapi asy-Syaikh al-Jilani hanya duduk dengan tenang saja. Kemudian ular itu pun masuk ke dalam baju asy-Syaikh dan telah merayap-rayap di badannya.
 Setelah itu, ular itu telah naik pula ke lehernya. Namun, asy-Syaikh masih tetap tenang dan tidak berubah keadaan duduknya. Setelah beberapa waktu berlalu, turunlah ular itu dari badan asy-Syaikh dan ia telah seperti bicara dengan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani . Setelah itu, ular itu pun ghaib. Kami pun bertanya kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani tentang apa yang telah dipertuturkan oleh ular itu. Menurut beliau ular itu telah berkata bahwa dia telah menguji wali-wali Allah yang lain, tetapi dia tidak pernah bertemu dengan seorang pun yang setenang dan sehebat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani.
Pada suatu hari, ketika asy-Syaikh sedang mengajar murid-muridnya di dalam sebuah majlis, seekor burung telah terbang di udara di atas majlis itu sambil mengeluarkan satu bunyi yang telah mengganggu majlis itu. Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun berkata, “Wahai angin, ambil kepala burung itu.” Seketika itu juga, burung itu telah jatuh ke atas majlis itu, dalam keadaan kepalanya telah terputus dari badannya.
Setelah melihat keadaan burung itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun turun dari kursi tingginya dan mengambil badan burung itu, lalu disambungkan kepala burung itu ke badannya. Kemudian asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah berkata, “Bismillaahirrahmaanirrahim.” Dengan serta-merta burung itu telah hidup kembali dan terus terbang dari tangan asy-Syaikh.
Maka takjublah para hadirin di majlis itu karena melihat kebesaran Allah yang telah ditunjukkanNya melalui tangan asy-Syaikh. Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, di dalam tahun 537 Hijrah,seorang lelaki dari kota Baghdad (dikatakan oleh setengah perawi bahawa lelaki itu bernama Abu Sa‘id ‘Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdadi) telah datang bertemu dengan asy-Syaikh Jilani, berkata, bahwa dia mempunyai seorang anak dara cantik berumur enam belas tahun bernama Fatimah. Anak daranya itu telah diculik (diterbangkan) dari atas anjung rumahnya oleh seorang jin. Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menyuruh lelaki itu pergi pada malam hari itu, ke suatu tempat bekas rumah roboh, di satu kawasan lama di kota Baghdad bernama al-Karkh.
“Carilah bonggol yang kelima, dan duduklah di situ. Kemudian, gariskan satu bulatan sekelilingmu di atas tanah. Kala engkau membuat garisan, ucapkanlah “Bismillah, dan di atas niat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani ” Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh beberapa kumpulan jin,
dengan berbagai-bagai rupa dan bentuk. Janganlah engkau takut. Apabila waktu hampir terbit fajar, akan datang pula raja jin dengan segala angkatannya yang besar. Dia akan bertanya hajatmu. Katakan kepadanya yang aku telah menyuruh engkau datang bertemu dengannya. Kemudian ceritakanlah kepadanya tentang kejadian yang telah menimpa anak perempuanmu itu.”
Lelaki itu pun pergi ke tempat itu dan melaksanakan arahan asy-Syaikh Abdul Qodir
Al-Jilani itu. Beberapa waktu kemudian, datanglah jin-jin yang coba menakut-nakutkan lelaki itu, tetapi jin-jin itu tidak berkuasa untuk melintasi garis bulatan itu. Jin-jin itu telah datang bergilir-gilir, yakni satu kumpulan selepas satu kumpulan. Dan akhirnya, Datanglah raja jin yang sedang menunggang seekor kuda dan telah disertai oleh satu angkatan yang besar dan hebat rupanya.
Raja jin itu telah memberhentikan kudanya di luar garis bulatan itu dan telah bertanya kepada lelaki itu, “Wahai manusia, apakah hajatmu?”Lelaki itu telah menjawab, “Aku telah disuruh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani untuk bertemu denganmu.”
Begitu mendengar nama asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani diucapkan oleh lelaki itu, raja jin itu telah turun dari kudanya dan terus mengucup bumi. Kemudian raja jin itu telah duduk di atas bumi, disertai dengan seluruh anggota rombongannya. Sesudah itu, raja jin itu telah bertanyakan masalah lelaki itu. Lelaki itu pun menceritakan kisah anak daranya yang telah diculik oleh seorang jin. Setelah mendengar cerita lelaki itu, raja jin itu pun memerintahkan agar dicari si jin yang bersalah itu. Beberapa waktu kemudian, telah dibawa ke hadapan raja jin itu, seorang jin lelaki dari negara Cina bersama-sama dengan anak dara manusia yang telah diculiknya.Raja jin itu telah bertanya, “Kenapakah engkau
sambar anak dara manusia ini? Tidakkah engkau tahu yang dia ini berada di bawah naungan al-Quthb ?”
Jin lelaki dari negara Cina itu telah mengatakan yang dia telah jatuh berahi dengan anak dara manusia itu. Raja jin itu pula telah memerintahkan agar dipulangkan perawan itu kepada bapanya, dan jin dari negara Cina itu pula telah dikenakan hukuman pancung kepala. Lelaki itu pun mengatakan rasa takjubnya dengan segala perbuatan raja jin itu, yang sangat patuh kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani.
Raja jin itu berkata pula, “Sudah tentu, karena asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani boleh melihat dari rumahnya semua kelakuan jin-jin yang jahat. Dan mereka semua sedang berada di sejauh-jauh tempat di atas bumi, karena telah lari dari sebab kehebatannya. Allah Ta’ala telah menjadikan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bukan saja al-Qutb bagi umat manusia, bahkan juga ke atas seluruh bangsa jin.”
Telah bercerita asy-Syaikh Abi ‘Umar ‘Uthman dan asy-Syaikh Abu Muhammad ‘Abdul Haqq al-Huraimy: Pada 3 hari bulan Safar, kami berada di sisi asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani Pada waktu itu, asy-Syaikh sedang mengambil wudu dan memakai sepasang terompah. Setelah selesai menunaikan solat dua rakaat, dia telah bertempik dengan tiba-tiba, dan telah melemparkan salah satu dari terompah-terompah itu dengan sekuat tenaga sampai tak nampak lagi oleh mata. Selepas itu, dia telah bertempik sekali lagi, lalu melemparkan terompah yang satu lagi. Kami yang berada di situ, telah melihat dengan ketakjubannya, tetapi tidak ada seorang pun yang telah berani menanyakan maksud semua itu. Dua puluh tiga hari kemudian, sebuah kafilah telah datang untuk menziarahi asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilany. Mereka (yakni para anggota kafilah itu) telah membawa hadiah-hadiah untuknya, termasuk baju, emas dan perak. Dan yang anehnya, termasuk juga sepasang terompah. Apabila kami amat-amati, kami lihat terompah-terompah itu adalah terompah-terompah yang pernah dipakai oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pada satu masa dahulu. Kami pun bertanya kepada ahli-ahli kafilah
itu, dari manakah datangnya sepasang terompah itu. Inilah cerita mereka:
Pada 3 haribulan Safar yang lalu, ketika kami sedang di dalam satu perjalanan, kami telah
diserang oleh satu kumpulan perompak. Mereka telah merampas kesemua barang-barang kami dan telah membawa barang-barang yang mereka rampas itu ke satu lembah untuk dibagi-bagikan di antara mereka. Kami pun berbincang sesama sendiri dan telah mencapai satu keputusan. Kami lalu menyeru asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani agar menolong kami. Kami juga telah bernazar apabila kami sudah selamat, kami akan memberinya beberapa hadiah. Tiba-tiba, kami terdengar satu jeritan yang amat
kuat, sehingga menggegarkan lembah itu dan kami lihat di udara ada satu benda yang sedang melayang dengan sangat laju sekali. Beberapa waktu kemudian, terdengar satu lagi bunyi yang sama dan kami lihat satu lagi benda seumpama tadi yang sedang melayang ke arah yang sama. Selepas itu, kami telah melihat perompak-perompak itu berlari lintang-pukang dari tempat mereka sedang membagi-bagikan harta rampasan itu dan telah meminta kami mengambil balik harta kami,karena mereka telah ditimpa satu kecelakaan. Kami pun pergi ke tempat itu. Kami lihat kedua orang pemimpin perompak itu telah mati. Di sisi mereka pula, ada sepasang terompah. Inilah terompah-terompah itu.
Telah bercerita asy-Syaikh Abduh Hamad ibn Hammam:
Pada mulanya aku memang tidak suka kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Walaupun aku merupakan seorang saudagar yang paling kaya di kota Baghdad waktu itu, aku tidak pernah merasa tenteram ataupun berpuas hati.Pada suatu hari, aku telah pergi menunaikan solat Jum’at. Ketika itu, aku tidak mempercayai tentang cerita-cerita karomah yang dikaitkan pada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Sesampainya aku di masjid itu, aku dapati beliau telah ramai dengan jamaah. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, dan kudapati betul-betul di hadapan mimbar.
Di kala itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani baru saja mulai untuk khutbah Jumaat. Ada beberapa perkara yang disentuh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang telah menyinggung perasaanku.Tiba-tiba, aku terasa hendak buang air besar. Untuk keluar dari masjid itu memang sukar dan agak mustahil. Dan aku dihantui perasaan gelisah dan malu, takut-takut aku buang air besar di sana di depan orang banyak. Dan kemarahanku terhadap asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun bertambah dan memuncak.
Pada saat itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah turun dari atas mimbar itu dan telah berdiri di hadapanku. Sambil beliau terus memberikan khutbah, beliau telah menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku sedang berada di satu tempat yang lain, yakni di satu lembah hijau yang sangat indah. Aku lihat sebuah anak sungai sedang mengalir perlahan di situ dan keadaan sekelilingnya sunyi sepi, tanpa kehadiran seorang manusia. Aku pergi membuang air besar. Setelah selesai, aku mengambil wudlu. Apabila aku sedang berniat untuk pergi bersolat, dan tiba-tiba diriku telah berada ditempat semula di bawah jubah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Dia telah mengangkat jubahnya dan
menaiki kembali tangga mimbar itu.
Aku sungguh-sungguh merasa terkejut. Bukan karena perutku sudah merasa lega, tetapi juga keadaan hatiku. Segala perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan-perasaan jahat yang lain, semuanya telah hilang. Selepas sembahyang Jum’at berakhir, aku pun pulang ke rumah. Di dalam perjalanan, aku menyadari bahwa kunci rumahku telah hilang. Dan aku kembali ke masjid untuk mencarinya. Begitu lama aku mencari, tetapi tidak aku temukan, terpaksa aku menyuruh
tukang kunci untuk membuat kunci yang baru.Pada keesokan harinya, aku telah meninggalkan Baghdad dengan rombonganku karena urusan perniagaan. Tiga hari kemudian, kami telah melewati satu lembah yang sangat indah.
Seolah-olah ada satu kuasa ajaib yang telah menarikku untuk pergi ke sebuah anak sungai. Barulah aku teringat bahwa aku pernah pergi ke sana untuk buang air besar, beberapa hari sebelum itu. Aku mandi di anak sungai itu. Ketika aku sedang mengambil jubahku, aku telah temukan kembali kunciku, yang rupa-rupanya telah tertinggal dan telah tersangkut pada sebatang dahan di situ. Setelah aku sampai di Baghdad , aku menemui asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani dan menjadi anak muridnya. Telah bercerita asy-Syaikh ‘Adi ibn Musafir al-Hakkar:
Aku pernah berada di antara ribuan hadirin yang telah berkumpul untuk mendengar pengajian asy-Syaikh. Ketika asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani sedang berbicara, tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Beberapa orang pun berlari meninggalkan tempat itu. Langit kala itu sedang diliputi awan hitam yang menandakan hujan akan terus turun dengan lebat. Aku melihat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani mendongak ke langit dan mengangkat tangannya serta berdoa, “Ya Robbi! Aku telah mengumpulkan manusia karenaMu, adakah kini Engkau akan menghalau mereka daripadaku?”
Setelah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berdoa, hujan pun berhenti. Tidak setitik hujan yang jatuh ke atas kami, pada hal di sekeliling kami hujan masih terus turun dengan deras.Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, isteri-isteri asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah bertemu dengannya dan telah berkata, “Wahai suami kami yang terhormat, anak lelaki kecil kita telah meninggal dunia. Namun kami tidak melihat setitik air mata pun yang mengalir dari mata kekanda dan tidak pula kekanda menunjukkan tanda kesedihan. Tidakkah kekanda menyimpan rasa belas kasihan terhadap anak lelaki kita, yang merupakan sebagian darah daging kekanda sendiri? Kami semua sedang dirundung kesedihan,namun kekanda masih juga meneruskan pekerjaan biasa kekanda, seolah-olah tiada sesuatu pun yang telah berlaku. Kekanda adalah pemimpin dan pelindung kami di dunia dan di akhirat. Tetapi
jika hati kekanda telah menjadi keras sehingga tiada lagi menyimpan rasa belas kasihan, bagaimana kami dapat bergantung kepada kekanda di Hari Pembalasan kelak?”
Maka berkatalah asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Wahai isteri-isteriku yang tercinta! Janganlah kamu semua menyangka hatiku ini keras. Aku menyimpan rasa belas kasihan di hatiku terhadap seluruh makhluk, sampai terhadap orang-orang kafir dan juga terhadap anjing-anjing yang menggigitku. Aku berdoa kepada Allah agar anjing-anjing itu berhenti menggigit, bukanlah karena aku takut digigit, tetapi aku takut nanti manusia lain akan melontar anjing-anjing itu dengan batu. Tidakkah kamu mengetahui bahwa aku mewarisi sifat belas kasihan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diutus Allah sebagai rahmat untuk sekalian alam?”
Maka wanita-wanita itu telah berkata pula, “Kalau benar kekanda mempunyai rasa belas kasihan terhadap seluruh makhluk Allah, sampai kepada anjing-anjing yang menggigit kekanda, kenapa kekanda tidak menunjukkan rasa sedih atas kehilangan anak lelaki kita yang telah meninggal ini?”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menjawab, “Wahai isteri-isteriku yang sedang berdukacita, kamu semua menangis karena kamu semua merasa telah berpisah daripada anak lelaki kita yang kamu semua sayangi. Tetapi aku sentiasa bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Kamu semua telah melihat anak lelaki kita di dalam satu ilusi yang disebut dunia. Kini, dia telah meninggalkannya lalu berpindah ke satu tempat yang lain. Allah telah berfirman ( Surat al-adid, ayat 20):
“dan tiadaklah kehidupan dunia ini melainkan hanyalah satu ilusi saja.” Memang dunia ini adalah satu ilusi, untuk mereka yang sedang terlena. Tetapi aku tidak terlena – aku melihat dan waspada. Aku telah melihat anak lelaki kita sedang berada di dalam bulatan masa, dan kini dia telah keluar darinya. Namun aku masih dapat melihatnya. Dia kini berada di sisiku. Dia sedang bermain-main di sekelilingku, sebagaimana yang pernah dia lakukan pada masa dahulu. Sesungguhnya, jika seseorang itu dapat melihat Kebenaran melalui mata hatinya, sama dengan yang dilihatnya masih hidup ataupun sudah mati, maka Kebenaran itu tetap tidak akan hilang.”
Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat: Pada suatu hari, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berjalan-jalan dengan beberapa muridnya di padang pasir. Waktu itu hari sangat panas, dan mereka sedang berpuasa. Oleh itu mereka merasa letih dan dahaga. Tiba-tiba, sekumpulan awan muncul, yang melindungi mereka dari panas terik matahari. Setelah itu, sebatang pohon kurma dan sebuah kolam air muncul di hadapan mereka. Mereka telah terpesona. Kemudian satu cahaya besar yang berkilauan, telah muncul dari celah awan di hadapan mereka dan kedengaranlah satu suara dari dalamnya yang telah
berkata, “Wahai ‘Abdul Qadir, akulah Tuhanmu. Makan dan minumlah, karena pada hari ini, telah aku halalkan untuk engkau apa yang telah aku haramkan untuk orang-orang lain.” Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun melihat ke arah cahaya itu dan berkata, “Aku berlindung dengan Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Tiba-tiba, cahaya, pohon kurma dan kolam itu semuanya hilang dari pandangan mata. Maka kelihatanlah Iblis di hadapan mereka dengan bentuk rupanya yang asli. Iblis bertanya, “Bagaimanakah engkau dapat mengetahui itu sebenarnya adalah aku?”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah menjawab, “Syariat itu sudah sempurna, dan tidak akan berubah sampai Hari Kiamat. Allah tidak akan mengubah yang haram kepada yang halal, walaupun untuk orang-orang yang menjadi pilihanNya (waliNya).”
Maka Iblis pun berkata lagi untuk menguji asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Aku telah mampu menipu 70 kaum daripada golongan as-salikin (yakni orang-orang yang menempuh jalan kerohanian) dengan cara ini. Ilmu yang engkau miliki lebih luas daripada ilmu mereka. Apakah hanya ini jumlah pengikutmu? Sudah sepatutnya semua penduduk bumi ini menjadi pengikutmu, karena ilmumu menyamai ilmu para nabi.”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menjawab, “Aku berlindung dengan Allah Yang Maha Mendengar, Yang Maha Mengetahui, daripada engkau. Bukanlah karena ilmuku aku terselamat, tetapi karena rahmat Allah, Pengatur sekalian alam.”

Meluruskan Kesalahpahaman tentang Syaikh Abdul Qadir Jaelani

Kedustaan yang Disandarkan Kepada al Imam as Sayyid Abd Al-Qadir al-Jaelani ((( Sangat Penting )))
Dalam tulisan penulis sengaja mengetengahkan hal-hal urgen terkait dengan cerita-cerita dusta yang berkembang di sebagian masyarakat kita yang dinisbatkan kepada sebagian wali Allah. Kandungan cerita-cerita ini adalah sesuatu yang tidak layak untuk dinisbatkan kepada mereka. Adalah salah besar apa yang dipahami oleh sebagian orang bahwa yang disebut wali Allah adalah seorang yang memiliki keanehan-keanehan atau keajaiban-keajaiban sekalipun itu semua bertentangan dengan timbangan syari’at.
1.       Dalam sebuah kitab berjudul al-Fuyûdlât ar-Rabbâniyyah Fi Ma’âtsir ath-Tharîqah al-Qâdiriyyah yang ditulis oleh Isma’il al-Qadiri al-Kailani dimuat dua bait syair dan dinisbatkan secara dusta kepada Syaikh Abd al-Qadir. Bait pertama berbunyi:
 كُلّ قُطْبٍ يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ سَبْعًا #       وَأنَا اْلبَيْتُ طَائِفٌ بِخِيَامِيْ
 “Setiap wali Quthub melaksanakan tawaf di ka’bah tujuh kali putaran, adapun bagi saya justru ka’bah tersebut tawaf mengelilingi kemahku”.
 Artinya, menurut penulis bait syair ini, ka’bah meninggalkan Mekah dan pergi ke Irak untuk melakukan tawaf di kemah Syaikh Abd al-Qadir. Ini jelas merupakan kedustaan, karena Allah menetapkan ka’bah pada tempatnya di Mekah untuk selalu dikelilingi dalam tawaf oleh seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali, baik di waktu siang maupun malam. Rasulullah sendiri, pembawa syari’at dan makhluk Allah yang lebih tinggi derajatnya dari siapapun melakukan tawaf dengan mengelilingi ka’bah, bukan ka’bah mengelilingi Rasulullah.
Bait syair ke dua berbunyi:
 لَوْ أنِّي ألْقَيْتُ سِرِّيْ عَلَى لَظَى  #       لَأُطْفِئَتِ النّيْرَانُ مِنْ عُظْمِ بُرْهَانِي
 “Jika aku letakan rahasiahku di atas kobaran api neraka maka api neraka tersebut akan padam karena keagungan rahasiahku”.
 Dalam bait kedua ini jelas berisikan penentangan terhadap teks-teks syari’at yang telah menetapkan bahwa surga dan neraka tidak akan pernah punah selamanya. Seorang muslim yang berakidah benar, bahkan seorang awam sekalipun berkeyakinan bahwa neraka tidak akan pernah padam selamanya. Bagaimana mungkin seorang alim besar seperti al-Jaelani mengucapkan semacam bait syair di atas?![1].

2.       Kedustaan lain yang juga dikutip dalam kitab al-Fuyûdlât ar-Rabbâniyyah di atas dan dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir adalah apa yang disebut dengan al-Ghautsiyyah. Disebutkan dalam kitab tersebut seakan Allah mengajak berbicara kepada Syaikh Abd al-Qadir dengan mengatakan “Ya Ghauts al-A’zham (Wahai penolong yang agung)…! Akan terjadi perkara ini dan itu…!”. Dalam bagian lain disebutkan bahwa Allah berkata kepadanya “Ya Ghauts al-A’zham… (Wahai penolong yang agung) makanan orang-orang fakir (kaum sufi) adalah makanan-Ku, dan minuman mereka adalah minuman-Ku”. Dalam kitab tersebut lafazh “Ya Ghauts al-A’zham” berulang-ulang disebutkan.
 Dalam menyikapi hal ini al Imam Abu al-Huda ash-Shayyadi, salah seorang khalifah terkemuka dalam tarekat ar-Rifa’iyyah, berkata:
 “Telah dinisbatkan kepada wali yang agung; Abu Shâlih Muhyiddin as-Sayyid al-Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani –semoga Allah meridlainya– beberapa pernyataan dusta yang bukan dari ucapannya. Kalimat-kalimat tersebut tidak dinukil dengan sanad yang benar darinya. Seperti kalimat dusta yang mereka sebut dengan “al-Ghautsiyyah”. Sesungguhnya beliau –semoga rahmat Allah selalu tercurah padanya– jauh dari kalimat-kalimat tersebut dan terbebas darinya”[2].
 3.       Kebohongan-kebohongan yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir sengaja disisipkan oleh kaum Musyabbihah yang mengaku madzhab Hanbali ke dalam kitab karya beliau sendiri; al-Ghunyah. Supaya dianggap bahwa akidah madzhab Hanbali adalah akidah tasybîh, seperti akidah yang mereka yakini. Juga supaya dianggap bahwa Syaikh Abd al-Qadir berakidah tasybîh seperti mereka, karena Syaikh Abd al-Qadir dalam fiqih mengikuti madzhab Hanbali. Di antara kedustaan tersebut adalah bahwa Allah bersemayam di langit[3]. Keyakinan semacam ini jelas menyalahi akidah Ahlussunnah yang telah menetapkan bahwa Allah adan tanpa tempat dan tanpa arah.
Apa yang disisipkan kaum Musyabbihah dalam kitab al-Ghunyah ini jelas merupakan kedustaan. Seorang awam dari kaum muslimin yang berakidah lurus tidak akan berkeyakinan sesat semacam ini, terlebih Syaikh Abd al-Qadir yang merupakan pemuka kaum sufi dan salah seorang ulama terkemuka. Beliau bukan seorang yang bodoh yang tidak mengenal sifat-sifat wajib pada Allah; yang salah satunya Mukhâlafah Li al-hawâdits.
Allah berfirman:
 وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ (النجم: 31)
 “Dan bagi Allah segala sesuatu yang ada di langit-langit dan di bumi”. (QS. Al-Najm: 31)
 Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa langit dengan segala isinya serta bumi dengan segala isinya adalah makhluk Allah. Maka bagaimana mungkin Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya tersebut?! Langit dan bumi adalah makhluk Allah, keduanya memiliki permulaan, artinya ada dari tidak ada. Sementara wujud Allah azali; tidak memiliki permulaan dan Abadi; tidak memiliki penghabisan. Artinya mustahil bagi Allah yang sebelum menciptakan langit dan bumi serta tidak membutuhkan kepada keduanya kemudian setelah menciptakan keduanya berubah menjadi membutuhkan kepada keduanya!! Kaum Musyabbihah pasti tidak akan bisa menjawab bila dikatakan kepada mereka kelak apa bila nanti langit dan bumi punah, adakah Allah masih membutuhkan tempat? Lantas di mana? Dan jika kemudian berubah tidak membutuhkan, bukankah perubahan adalah tanda yang paling jelas dari sesuatu yang baharu (makhluk)?! Inilah di antara tanda-tanda kesesatan orang-orang Musyabbihah.
 Kaum Musyabbihah, dalam kitab al-Ghunyah di atas juga menyisipkan kesesatan lain terhadap Syaikh’Abd al-Qâdir. Dalam kitab tersebut mereka menuliskan bahwa huruf-huruf al-Qur’an adalah qadîm; tidak memiliki permulaan[4]. Pada bagian lain mereka juga menuliskan bahwa Allah mengeluarkan suara yang mirip dengan suara halilintar[5]. Tulisan ini jelas bukan keyakinan Syaikh Abd al-Qadir yang notabene seorang sunni. Dalam akidah Ahlussunnah telah ditetapkan bahwa tidak ada suatu apapun yang qadîm selain Allah. Huruf-huruf, suara dan bahasa jelas merupakan makhluk Allah. Dengan demikian maka sifat kalam Allah bukan berupa huruf, suara maupun bahasa.
Adapun al-Qur’an; kitab berisikan tulisan atau huruf-huruf dalam bahasa arab Arab, disebut kalam Allah bukan berarti Allah mengeluarkan kalimat-kalimat tersebut. Tapi al-Qur’an yang sudah berbentuk kitab tersebut adalah sebagai ungkapan (‘Ibârah) dari sifat kalam Allah atau dari al-Kalâm al-Dzâti. Al-Qur’an dibawa malaikat Jibrîl dari Allah bukan berarti Jibrîl berhadap-hadapan dengan Allah, dan Allah mengeluarkan huruf-huruf atau suara-suara yang kemudian dibawakan Jibrîl kepada Rasulullah. Karena bila Allah mengeluarkan huruf, suara dan bahasa maka tak ubahnya seperti manusia. Yang benar ialah bahwa malaikat Jibrîl diperintah oleh Allah untuk mengambil bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut dari al-Lauh al-Mahfûzh yang telah tertulis demikian adanya dan kemudian dibawakannya kepada Rasulullah. Dalil bagi hal ini adalah firman Allah:
 إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (الحاقة: 40)
 “Sesungguhnya ia benar-benar bacaan utusan yang mulia” (QS. Al-Haqqah: 40)
 Yang dimaksud dengan ayat ini tidak lain adalah malaikat Jibrîl, sebagaimana telah disepakati para ahli tafsir. Artinya al-Qur’an yang sekarang kita baca dan tersusun dari huruf-huruf adalah sesuatu yang dibacakan malaikat Jibrîl kepada Rasulullah[6].
Di antara yang dapat membatalkan apa yang dinisbatkan kaum Musyabbihah kepada Syaikh Abd al-Qadir di atas adalah sebuah kisah yang benar adanya dari beliau sendiri. Suatu ketika, Syaikh Abd al-Qadir dalam khlawatnya didatangi Iblis dalam bentuk cahaya yang indah. Iblis berkata: Wahai hambaku, wahai Abd al-Qâdir, aku adalah tuhanmu, aku halalkan bagimu segala sesuatu yang telah aku diharamkan dan aku gugurkan darimu segala sesuatu yang telah aku wajibkan. Maka berbuatlah sekehendakmu karena aku telah megampuni segala dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang…!!. Syaikh Abd al-Qadir tanpa ragu kemudian menjawab: Terlaknat wahai engkau Iblis…!!. Dalam pada ini Syaikh Abd al-Qadir tahu bahwa yang berbicara tersebut adalah Iblis. Karena Allah bukan cahaya atau sinar, Allah ada tanpa tempat, Allah tidak berkata-kata dengan suara dan huruf, dan Allah tidak akan menghalalkan sesuatu yang diharamkannya[7].
Asy-Syibli, dalam menerangkan makna ma’rifat berkata: “Dialah Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia Allah ada sebelum adanya segala benda dan huruf-huruf. Dzat Allah bukan benda dan kalam-Nya bukan huruf-huruf”.[8]
 4.       Cerita-cerita yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir yang dimuat dalam kitab Bahjah al-Asrâr Wa Mâ’din al-Anwâr adalah kedustaan-kedustaan belaka. Kitab ini ditulis oleh ‘Ali asy-Syathnufi al-Mishri dengan rangkaian-rangkaian sanad yang tidak benar, sebagaimana penilaian sanad ini dinyatakan oleh Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab ad-Durar al-Kâminah[9]. ‘Ali asy-Syathnufi sengaja membuat rangkaian-rangkain sanad palsu tersebut untuk menjual cerita-cerita hingga laku di khalayak kaum muslimin[10].
Di antara kedustaan yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir dalam kitab Bahjah al-Asrâr di atas adalah pernyataan “Telapak kakiku ini berada di atas leher seluruh wali Allah”. Pernyataan semacam ini jelas bersebrangan dengan sifat-sifat para wali Allah yang dikenal sebagai kaum yang sangat tawadlu dan mengutamakan al-khumûl serta menghindari kesenangan-kesenangan duniawi. Syaikh Sirajuddin al-Makhzûmi dalam kitab Shihâh al-Akhbâr Fi Nasab al-Sâdâh al-Fâthimiyyah al-Akhyâr menyatakan bahwa pernyataan di atas jelas-jelas sebuah kedustaan yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir. Dalam kitab tersebut, Syaikh Sirajuddin juga menyebutkan siapa orang yang sengaja membuat penisbatan pernyataan itu kepada al-Jailani[11].
 Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda di hadapan beberapa orang sahabatnya:
 إنّ التّوَاضُعَ أفْضَلُ الْعِبَادَةِ (رَوَاهُ ابْنُ حَجَر فِي الآمَالِي)
 “Sesungguhnya sikap tawadlu adalah ibadah yang paling utama”. (HR. Ibn Hajar dalam al-Âmâli al-Mishriyyah).
 Rasulullah mengucapkan hadits ini di hadapan para sahabatnya bukan berarti mereka orang-orang yang tidak tawadlu. Kebanyakan para sahabat, terlebih para sahabat terkemuka beliau (Kibâr al-Shahâbah) adalah orang-orang yang tawadlu. Hadits hendak ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa sikap tawadlu adalah sikap yang sangat terpuji. Sementara kebalikannya, yaitu sikap takabur, sombong dan riya’ adalah sifat-sifat tercela. Sikap tawadlu inilah yang selalu diteladani seluruh para wali Allah, termasuk oleh Syaikh Abd al-Qadir. Bahkan dalam beberapa kesempatan Syaikh Abd al-Qadir menyatakan bahwa derajat ketaqwaan dan kewalian tidak lain salah satunya diraih dengan sifat tawadlu dan lapang dada (Salâmah al-Shadr). Artinya, perkataan “Telapak kakiku ini berada di atas leher seluruh wali Allah” jelas memberikan pemahaman kesombongan. Kalimat semacam ini bagaiman mungkin dinyatakan Syaikh Abd al-Qadir yang menjunjung sifat-sifat tawadlu’?!
 al Imam Abu al-Huda ash-Shayyadi berkata:
 “Adapun apa yang tertulis dalam kitab Bahjah al-Asrâr karya asy-Syathnufi tentang manâqib Syaikh Abd al-Qadir yang memuat hikayat-hikayat dan riwayat-riwayat maudlû’ (palsu), hal ini telah dinilai oleh para pemuka sufi sendiri. Di antara mereka ada yang menilai bahwa asy-Syathnufi sengaja membuat kedustaan-kedustaan tersebut dengan tujuan-tujuan pribadi. Penilaian ini di antaranya dari Ibn Rajab al-Hanbali dalam Thabaqât al-Hanâbilah dalam penulisan biografi Syaikh Abd al-Qadir. Sebagian sufi lain mengatakan bahwa asy-Syathnufi adalah seorang pembuat cerita-cerita dusta. Mereka menyatakan bahwa asy-Syathnufi tidak tahu apa-apa, ia selalu mengambil cerita-cerita apapun, baik yang benar maupun yang tidak benar”[12].
 Selanjutnya Syaikh ash-Shayyadi berkata:
“Adapun yang ia tulis dalam Bahjah al-Asrâr dengan rangkaian sanad yang dinisbatakan kepada Syaikh Abd al-Qadir tentang kata-kata “telapak kakiku ini berada di atas leher seluruh wali Allah”, para ulama telah berselisih pendapat padanya. Pendapat al-Hâfizh Ibn Rajab al-Hanbali, al-Imâm al-‘Izz al-Fârutsi asy-Syafi’i, adz-Dzahabi, al-Taqy al-Wasithi, Ibn Katsîr dan mayoritas ulama terkemuka lainnya mengingkari kata-kata tersebut dan menafikannya sebagai pernyataan Syaikh Abd al-Qadir. Mereka mengatakan bahwa kata-kata tersebut adalah di antara kedustaan-kedustaan yang dibuat al-Syathnufi, di nama hal tersebut dirangkai dengan sanad yang tidak bisa dijadikan sandaran”[13].
 Masih dalam kitab Bahjah al-Asrâr, di dalamnya juga tertulis: “Ketahuilah oleh kalian sesungguhnya amal ibadah kalian tidak masuk ke dalam bumi tapi naik ke langit, dengan dalil firman Allah: “Ilayhi Yash’ad al-Kalim al-Thayyib Wa al-‘Amal al-Shâlih Yarfa’uh…”, maka Tuhan kita berada di arah atas, Dia bersemayam di atas ‘arsy…”. Tulisan ini tanpa kita ragukan adalah karya orang-orang Musyabbihah-Mujassimah. Merekalah yang merusak madzhab Hanbali dengan keyakinan sesat semacam ini. Kaum Musyabbihah dan Mujassimah tersebut tidak hanya mengotori madzhab Hanbali tapi juga memalsukan perkataan-perkataan para ulama Hanâbilah seperti Syaikh Abd al-Qadir yang notabene seorang sunni bermadzhab Hanbali. Dalam pada ini asy-Sya’rani mengatakan bahwa apa yang tertulis dalam Bahjah al-Asrâr tersebut adalah sisipan dan kepalsuan dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Adakah seorang wali Allah, seorang yang ‘arif dan alim berkeyakinan semacam ini?![14].
 5.       Pernyataan beberapa orang yang menisbatkan dirinya kepada tarekat al-Qadiriyyah mengatakan bahwa seorang mursyid akan terpelihara dari segala kesalahan. Karenanya setiap ucapan dan tingkah laku seorang mursyid hendaklah menjadi panutan tanpa harus dibantah sedikitpun. Dalam pada ini sebagian mereka dalam menggambarkan Syaikh Abd al-Qadir membuat sya’ir berbunyi:
إنّ لِشَيْخِيْ تَسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اسْمًا          #       كَسُمَى ذِي الْجَلاَلِ فِي اسْتِجَابِ الدّعَاءِ
“Sesungguhnya Syaikhku memiliki 99 nama, seperti nama Allah “Dzu al-Jalal” dalam mengabulkan setiap doa”.
 Artinya menurut penulis bait syair ini Syaikh Abd al-Qadir memiliki 99 nama seperti 99 nama Allah yang salah satunya mengabulkan doa-doa para hamba. Kandungan bait ini jelas berisikan tasybîh; penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya dan benar-benar merupakan kesesatan dan kekufuran.
 Syaikh Abd al-Qadir dan para wali Allah lainnya tidak akan mengatakan bahwa seorang wali Allah atau seorang mursyid selalu terpelihara dari kesalahan. Ini dapat kita lihat dari pernyataan beliau sendiri dalam kitab Âdâb al-Murîd:
إذَا عَلِمَ الْمُرِيْدُ مِنْ الشّيْخِ خَطَأً فَلْيُنَبِّهْهُ، فَإنْ رَجَعَ فَذَاكَ الأمْرُ وَإلاّ فَلْيَتْرُكْ خَطَأَهُ وَلْيَتْبَعِ الشّرْعَ
 “Jika seorang murid mengetahui suatu kesalahan dari Syaikhnya maka ingatkanlah ia. Jika Syaikhnya tersebut kembali dari kesalahannya maka itulah yang diharapkan -ia dapat tetap bersamanya-. Namun bila Syaikh-nya tersebut tidak mau kembali maka tinggalkanlah kesalahannya dan ikutilah syara’”.
 Simak pula perkataan Imam Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir:
 سَلِّمْ لِلْقَوْمِ أحْوَالُهُمْ مَا لَمْ يُخَالِفُوا الشّرْعَ فَإنْ خَالَفُوا الشّرْعَ فَكُنْ مَعَ الشّرْع
 “Jangan engkau hirauhkan kaum sufi terhadap keadaan apapun yang ada pada diri mereka selama mereka tidak menyalahi syara’, namun jika mereka menyalahi syara’ maka ikutilah syara’ -jangan mengikuti mereka-”.
 Dari beberapa pernyataan para ulama di atas dapat dipahami bahwa tidak seorang manusiapun yang dapat terbebas dari kesalahan dalam urusan agama, baik kesalahan kecil maupun besar. Inilah yang dimaksud dengan hadits nabi:
 مَا مِنْكُمْ مِنْ أحَدٍ إلاّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكْ غَيْرَ رَسُوْلِ اللهِ
 “Tidak seorangpun dari kalian, kecuali setiap ucapannya ada kemungkinan benar dan ada kemungkinan salah, selain Rasulullah; selalu benar”.
 Dari pemahaman hadits ini dapat diambil kesimpulan bahwa seluruh manusia, dari mulai para sahabat nabi hingga mereka yang hidup di masa sekarang ini, tidak dapat menghindarkan diri dari kemungkinan berbuat kesalahan dalam urusan agama. Kecuali Rasulullah, ia dijaga oleh Allah dari kemungkinan kesalahan tersebut. Contoh paling kongkrit, yang hal ini dijadikan alasan kuat oleh para ulama, adalah bahwa beberapa sahabat Rasulullah yang telah diberi kabar gembira akan masuk surga, jatuh dalam kesalahan. Namun hal ini tidak menafikan keutaman dan derajat mereka. Para sahabat tersebut adalah tokoh-tokoh tertinggi dalam derajat kewalian, artinya jauh lebih utama dari para wali Allah yang datang di kemudian hari.
 Seperti sahabat Umar ibn al-Khaththab, seorang sahabat nabi yang dinyatakan oleh nabi sendiri selalu mendapat ilham dan memiliki firasat yang sangat kuat (nabi menyebutnya dengan muhaddats)[15]. Suatu hari ia berkata di hadapan para sahabat lain: “Wahai sekalian manusia, janganlah kalian membuat harga yang terlalu mahal dalam urusan mas kawin, jika datang kepadaku berita seseorang yang melebihkan mas kawinnya di atas 400 dirham maka aku akan mengambilnya dan aku letakan di bait al-mâl (kas negara)”. Tiba tiba seorang perempuan berkata: “Wahai Amîrul Mu’minîn engkau tidak berhak melakukan itu. Allah berfirman: “Dan bila kalian telah memberikan mas kawin kepada mereka, maka janganlah kalian ambil darinya sedikitpun” QS. Al-Nisa’: 20. Kemudian sahabat Umar naik kembali ke mimbar, seraya berkata di hadapan kaum muslimin: “Wahai manusia aku serahkan kepada kalian tentang harga-harga mas kawin kalian, perempuan ini benar dalam pendapatnya dan Umar telah salah”.
 Demikian pula yang terjadi di kalangan para ulama. Kemungkinan kesalahan dalam memberikan fatwa adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Dan bila salah seorang dari mereka terjatuh dalam kesalahan, maka klaim salah dari ulama yang lebih kuat pendapatnya adalah hal yang biasa terjadi. Karenanya, Imam al-Haramain dalam beberapa kitabnya seringkali menulis: “Ayahku berkata demikian, dan ini salah!!”. Padahal ayah beliau, bernama Abdullah ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan Imam al-Juwaini, adalah seorang ulama terkemuka di kalangan madzhab Syafi’i. Bahkan, karena sangat agungnya keilmuan Imam al-Juwaini, sebagian ulama berkata jika setelah nabi Muhammad ada lagi seorang nabi maka al-Juwaini inilah yang berhak atas kenabian tersebut.
 Dengan demikian pernyataan sebagain pengikut tarekat bahwa seorang mursyid selalu terpelihara dari segala kesalahan adalah sebuah kesesatan belaka. Pernyataan mereka ini jelas tanpa didasarkan kepada ilmu agama. Seperti sebagian mereka yang berkata bahwa seorang syeikh atau mursid mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh muridnya, sekalipun mursid tersebut sedang di tempat tidurnya. Sebagian lainnya berkata bahwa seorang mursid mengetahui hal-hal yang gaib dan mengetahui segala sesuatu yang terlintas di dalam benak setiap muridnya. Na’udzu Billâh.
 6.       Sebagian pengikut tarekat al-Qadiriyyah, juga beberapa pengikut tarekat lainnya  beranggapan bahwa bergabung dalam komunitas tarekat adalah suatu kewajiban. Pernyataan semacam ini jelas merupakan kesesatan. Ini sama juga dengan mewajibkan suatu perkara yang tidak wajib dalam Islam.
 Benar, para ulama menyatakan bahwa tarekat adalah suatu yang baik. Walapun ia merupakan bid’ah atau sesuatu yang baharu; karena tidak pernah ada pada masa Rasulullah dan masa sahabatnya, namun ia merupakan bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik. Tujuan utama dari dirintisnya tarekat oleh para ulama sufi dan orang-orang saleh terdahulu adalah untuk mendorong meningkatkan nilai takwa kepada Allah. Para ulama empat madzhab sepakat bahwa bid’ah atau sesuatu yang baharu yang tidak ada di masa Rasulullah dan para sahabatnya terbagi kepada dua bagian.
 Pertama; Bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik, yaitu seuatu yang baharu yang sejalan dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah. Kedua; Bid’ah sayyi’ah atau bid’ah yang bersebrangan dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah. Dalil yang menguatkan adanya pembagian bid’ah kepada dua bagian ini adalah sabda Rasulullah:
 مَنْ سَنَّ فِي اْلإسْلاَمِ سُنّةً حَسَنَةً فَلَهُ أجْرُهَا وَأجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ أجُوْرِهِمْ شَىءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الإسْلاَمِ سُنّةً سَيّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ مِنْ بَعْدِهِ بِهَا مِنْ غَيْرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ أوْزَارِهِمْ شَىءٌ (رَوَاهُ مُسْلِم).
 “Barang siapa merintis dalam Islam akan suatu yang baik, maka bagi orang tersebut pahala dari apa yang ia perbuat dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudahnya, dengan tanpa berkurang sedikitpun dari pahala orang-orang tersebut. Dan barang siapa merintis dalam Islam sesuatu yang buruk, maka bagi orang tersebut dosa dari apa yang ia perbuat dan dosa dari orang-orang yang mengikutinya sesudahnya, dengan tanpa berkurang sedikitpun dari dosa orang-orang tersebut” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
 Contoh dari bid’ah hasanah sangat banyak, seperti; pembuatan titik-titik pada huruf huruf al-Qur’an dan harakat i’râb-nya, merayakan peringatan maulid nabi Muhammad, membuat mihrab-mihrab masjid dan lainnya. Termasuk dalam bid’ah hasanah ini adalah tarekat-tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh.
 Dengan demikian kita tidak meragukan bahwa tarekat-tarekat seperti al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah, ar-Rifa’iyyah, as-Suhrawardiyyah, al-Jistiyyah, as-Sa’diyyah, asy-Syadziliyyah, al-Badawiyyah, ad-Dasuqiyyah, al-Maulawiyyah dan berbagai tarekat lainnya, tujuan dirintisnya adalah sesuatu yang baik dan masuk dalam pengertian bid’ah hasanah. Mereka yang merintis tarekat-tarekat tersebut adalah orang-orang saleh, ahli ilmu dan amal yang konsisten dalam menjalankan syari’at Rasulullah. Bila kemudian di belakang hari tarekat-tarekat tersebut dimasuki kesesatan-kesesatan maka hal itu tidak merusak asal kebolehan tarekat itu sendiri, hanya saja tentu yang harus dipermasalahkan sekaligus disingkirkan adalah penyimpangan-penyimpanganya, bukan tarekatnya.
 Bergabung dengan salah satu tarekat yang ada bukan suatu kewajiban. Sebagian mereka yang mewajibkannya adalah pernyataan tanpa dasar. Pada hakekatnya, komitmen yang dituntut dari setiap orang muslim adalah agar selalu bertakwa, berpegang teguh dengan ajaran-ajaran Islam, yaitu dengan mengerjakan segala yang diwajibkan dan menjauhi segala yang dilarang. Sementara itu, tarekat yang berisikan bacaan-bacaan dzikir dengan ditambah janji atau berbaiat kepada seorang mursyid untuk memegang teguh syari’at Islam tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas takwa. Artinya, tanpa bergabung dengan tarekat atau tidak, komitmen awal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap hamba muslim adalah agar selalu menjaga nilai takwa dan meningkatkan kualitasnya dalam berbagai keadaan dan tempat. Kemudian bila dinyatakan bergabung dengan tarekat merupakan kewajiban, berarti sekian banyak orang dari sebelum bermunculannya tarekat-tarekat tersebut adalah orang-orang yang berdosa. Jelas, klaim semacam ini tanpa dasar.
Di dalam beberapa kitab tulisan para ulama pengikut tarekat al-Naqsyabandiyyah dan para ulama lainnya telah dijelaskan bahwa bergabung dengan tarekat bukan merupakan kewajiban. Di antaranya dalam kitab al-Sa’âdah al-Abadiyyah Fimâ Jâ’a Bihi an-Naqsyabandiyyah karya Syaikh Abd al-Majid Ibn Muhammad al-Khani al-Khalidi an-Naqsyabandi dan kitab al-Hadîqah an-Nadiyyah Wa al-Bahjah al-Khâlidiyyah karya Syaikh al-‘Allâmah Muhammad Ibn Sulaiman al-Baghdadi al-Hanafi; salah seorang khalifah tarekat an-Naqsyabandiyyah. Dalam kitab yang terakhir disebut dinyatakan bahwa Ibn Hajar menyebutkan dalam kumpulan fatwa-fatwa besarnya beberapa gambaran dari tatacara mengambilan janji oleh para Syaikh dari tangan seorang yang bertaubat, serta disebutkan pula bahwa mengambil janji di hadapan seorang mursyid atau di atas tangan seorang Syaikh yang saleh adalah sesuatu yang baik dan dicintai[16].

**********************  (( catatan kaki ))   ************************

[1] Kandungan bait pertama juga dikutip dalam beberapa kitab, seperti Raudl al-Rayyâhîn. Lihat bantahan penisbatan dua bait syait ini dalam karya al Imam al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 24-25
 (Faedah): Di antara kesesatan Ibn Taimiyah yang menjadi sorotan para ulama di masanya hingga sekarang dan di anggap telah menyalahi ijma’ adalah pernyataannya bahwa neraka akan punah. Pendapat Ibn Taimiyah ini selain ia ungkapkan dalam karyanya sendiri (Lihat karya Ibn Taimiyah berjudul ar-Radd ‘Alâ Man Qâl Bi Fanâ’ al-Jannah Wa an-Nâr, h. 67), demikian pula dikutip oleh muridnya sendiri, yaitu Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam karyanya berjudul Hâdî al-Arwâh Ilâ Bilâd al-Afrâ, h, h. 579 dan 582, dan diikutinya.
Yang sangat mengherankan, kaum Wahhabiyyah merasa bangga dengan keyakinan batil Ibn Taimiyah ini, bahkan sebagian dari mereka menulis sebuah buku dengan judul al-Qaul al-Mukhtâr Li Bayân Fanâ’ an-Nâr. Lihat Mathba’ah Safir Cet. 1, Riyadl th. 1412 H. Artinya, menurut kaum Wahhabiyyah, sebagaimana hal ini ajaran Ibn Taimiyah, bahwa seluruh orang kafir dan orang musyrik akan keluar dari neraka, maka orang-orang semacam Abu Lahab, Abu Jahal, Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku nabi setelah Rasulullah wafat, Fir’aun yang mengaku tuhan, orang-orang Yahudi yang membunuh para nabi Allah, serta orang-orang kafir lainnya, mereka semua akan keluar dari neraka. Kita katakan; Lalu di manakah kemudian tempat orang-orang kafir tersebut?! Apakah mereka pindah masuk ke surga?! Na’ûdzu Billâh. Sementara di akhirat tidak ada tempat ke tiga selain surga dan neraka! Apa yang diyakini Ibn Taimiyah dan orang-orang Wahhabiyyah ini adalah jelas telah menyalahi sesuatu yang Ma’lûm Min ad-Dîn Bi adl-Dlarûrah, dan itu merupakan kesesatan nyata.
Cukup untuk mengetahui kesesatan keyakinan Ibn Taimiyah tentang ini adalah risalah yang telah ditulis oleh seorang ulama besar yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri, yaitu Syaikh al-Islâm al-Hâfizh al-Lughawi al-Mufassir al-Mujtahid, seorang ulama agung di masanya yang telah mencapi derajat mujtahid mutlak; al-Imâm Taqiyyuddin as-Subki. Beliau telah menulis berbagai risalah dalam bantahan kepada Ibn Taimiyah, di antaranya al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa al-Nâr, al-Durrah al-Mudliyyah Fi al-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah, dan lainnya. Lebih komprehensif tentang kajian kesesatan Ibn Taimiyah lihat al-Hâfizh al-Habasyi, al-Maqâlât as-Sunniyyah Fi Kasyf Dlalâlât Ibn Taimiyah, Dar al-Masyari’, Bairut.
 [2] Lihat al Imam al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 24, mengutip dari Abu al-Huda ash-Shayyadi, ath-Tharîqah ar-Rifa’iyyah, h. 58-59
 [3] al Imam al-Jilani,  al-Gunyah…, h. 94 dan 97
 [4] Ibid, h. 103
 [5] Ibid.
 [6] Perdebatan tentang kalam Allah atau al-Qur’an di antara beberapa firqah dalam Islam telah menyita banyak perhatian. Dalam satu pendapat bahkan disebutkan bahwa asal penamaan ilmu tauhid menjadi ilmu kalam merujuk kepada masalah kalam Allah. Secara garis besar, dalam masalah kalam Allah ini terbagi kepada tiga kelompok. Dua kelompok ekstrim sama sesatnya; 180 derajat saling bertentangan. Dan satu kelompok moderat yang haq, di tangah-tengah antara keduanya, ialah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dua kelompok ekstrim tersebut, pertama; kaum Mu’tazilah, berpendapat bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat termasuk sifat Kalam. Mereka berkesimpulan bahwa al-Qur’an makhluk. Kelompok ekstrim kedua; Musyabbihah, berpendapat bahwa huruf-huruf yang tersusun dalam kitab al-Qur’an adalah qadîm. Mereka berkesimpulan bahwa Allah mengeluarkan huruf-huruf dan bahasa. Keyakinan kedua ini adalah keyakinan yang ambil kaum Wahhabiyyah sekarang.
 Adapun menurut pendapat Ahlussunnah, al-Qur’an atau kalam Allah memiliki dua pemaknaan. Jika yang dimaksud dengan al-Qur’an adalah al-Kalâm al-Dzâti atau sifat Kalam Allah maka ia bukan berupa huruf, suara dan bukan bahasa. Dalam pengertian ini jelas ia sesuatu yang qadîm. Tapi jika yang dimaksud al-Qur’an adalah yang lafazh-lafazh yang diturunkan, dibawa malaikat Jibrîl, tersusun dari huruf-huruf, tertulis di atas lembaran-lembaran dengan tinta dan dibaca dengan lidah, maka jelas ia sesuatu yang baharu (hâdits). Al-Qur’an dalam pengertian terakhir ini adalah merupakan ungkapan (‘Ibarah) dari al-Kalâm al-Dzâti. Kesimpulannya tidak boleh diucapkan: “al-Qur’an makhluk”, karena al-Qur’an bukan buatan malaikat Jibrîl atau Nabi Muhammad. Juga dikhawatirkan bagi orang mendengar ucapan tersebut berkesimpulan bahwa al-Qur’an benar-benar makhluk, padahal al-Qur’an memiliki dua pemaknaan sebagaimana penjelasan di atas. Penjelasan lebih luas lihat kitab-kitab Ahlussunnah dalam pembahasan terkait. Seperti al-Habasyi, dalam kitabnya Idlhâr al-‘Aqîdah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, h. 84-123 dan kitab ad-Durrah al-Bahiyyah, h. 40-42, juga dalam kitabnya al-MaThalib al-Wafiyyah Bi Syarh al-‘Akidah an-Nasafiyyah, h. 72-79, al-Baijuri dalam Tuhfah al-Murîd Syarh Jauhar al-Tauhîd, h. 55-56, al-Ghazali dalam al-Arba’în Fi Ushûl al-Dîn, h. 17, dan dalam banyak kitab lainnya
 [7] Lihat asy-Sya’rani, ath-Thabaqât…, j. 1, h. 218
 [8] Al-Qusyairi, ar-Risâlah…, h. 41
 [9] Lihat al-Asqalani, ad-Durar al-Kâminah, j. 4, h. 216. Beliau mengatakan bahwa sanad yang ditulis al-Syathnufi dalam Bahjah al-Asrâr adalah sanad yang tidak benar dari Syaikh Abd al-Qadir.
 [10] al Imam al-Habasyi dengan tegas membongkar cerita-cerita palsu yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qâdir tersebut. Lihat al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 22
 [11] Lihat al Imam al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 25, mengutip dari Shihâh al-Akhbâr Fi Nasab as-Sâdah al-Fâthimiyyah al-Akhyâr, h. 128
 [12] Lihat al Imam al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 26, mengutip dari Abu al-Huda ash-Shayyadi, ath-Tharîqah ar-Rifa’iyyah, h. 59
 [13] Ibid.
 [14] Lihat asy-Sya’rani, al-Yawâqît…, j. 1, h. 66. Makna firman Allah QS. Fathir: 10 di atas tidak menunjukkan bahwa Allah berada di arah atas. Sebab bila ayat mutasyâbihât ini diambil makna zhahirnya maka akan bertentangan dengan ayat mutasyâbihât yang lain yang zhahirnya memberikan pemahaman seakan-akan Allah bertempat di bumi, seperti pada firman Allah QS. Al-Baqarah: 115, QS. Al-Hadid: 4, dan lainnya. Adapun makna yang benar dari firman Allah di atas ialah bahwa al-Kalim al-Thayyib (kalimat-kalimat yang baik); seperti Lâ Ilâha IllAllah naik ke tempat yang dimuliakan Allah, yaitu langit. -Artinya langit adalah tempat kemuliaan dan rahmat Allah, karena dari langit turun rizki-rizki bagi para hamba-Nya-. Dan makna “Wa al-‘Amal al-Shâlih Yarfa’uh” artinya setiap amalan yang saleh diterimanya. Lihat al-Habasyi, al-Shirât…, h. 47
 [15] Di antara riwayat mashur menceritakan kekuatan firasat Umar sekaligus sebagai karamah beliau adalah kisah tentang salah seorang panglima perangnya yang bernama Sariyah ibn Zunaim, yang dikirim ke daerah Nahawand. Ketika tentara kaum muslimin yang di pimpin Sariyah ini terdesak dari serangan kaum kafir, pada saat yang sama Umar ibn al-Khaththab sedang menyempaikan khutbah di Madinah, tiba-tiba Umar berteriak dengan keras: “Wahai Sariyah, berlindunglah ke gunung… berlindunglah ke gunung…!!”. Setelah beberapa hari kemudian Sariyah dengan pasukannya pulang dalam keadaan selamat. Mereka bercerita bahwa saat mereka terdesak dari serangan kaum kafir, mereka mendengar teriakan Umar untuk berlindung di gunung-gunung. Hadits shahih riwayat al-Asqalani dalam al-Ishâbah Fî Tamyîz al-Shahâbah, j. 2, h. 3. Lihat pula biografi Umar ibn al-Khaththab dalam Hilyah al-Auliyâ’, karya Abu Nu’aim, j. 1, h. 38
 [16] Lebih luas lihat al-Habasyi, Tahdzîr…, h. 146. Lihat pula at-Tasyarruf…, h. 151-153